Belitung — Aktivitas tambang timah ilegal (TI) di kawasan Pantai Air Mengkelingan, Dusun Munsang, Desa Sungai Padang, kian hari makin memprihatinkan. Di wilayah yang seharusnya menjadi zona larangan tambang atau “zero tambang”, justru marak ratusan tambang timah jenis suntik yang beroperasi secara terang-terangan.
Ironisnya, aktivitas ilegal ini terkesan tak tersentuh oleh aparat penegak hukum. Bahkan, menurut informasi yang diperoleh, terdapat dugaan keterlibatan oknum aparat TNI berinisial D yang disebut-sebut sebagai penanggung jawab lapangan. Para penambang mengaku dipaksa menyetor uang sebesar Rp300.000 hingga Rp500.000 per minggu dari hasil tambang mereka kepada oknum tersebut.
Keberadaan tambang ilegal ini telah berlangsung cukup lama dan jelas berdampak buruk bagi lingkungan serta kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. “Kami sudah lama mengeluhkan ini, tapi sampai sekarang belum ada tindakan nyata dari pemerintah daerah ataupun aparat penegak hukum,” ujar salah seorang nelayan yang enggan disebutkan namanya.
Nelayan mengaku bahwa aktivitas tambang di kawasan tersebut mengganggu jalur tangkap ikan, merusak ekosistem laut, serta menimbulkan konflik horizontal karena banyak penambang berasal dari luar desa. “Kami bukan benci penambang, tapi aktivitas mereka merusak laut dan mengancam mata pencaharian kami,” jelasnya.
Mereka berharap Bupati Belitung Jhoni Alamsyah segera mengambil tindakan tegas. Mulai dari pengecekan ke lapangan, pembentukan tim pengawasan bersama aparat, hingga menindak tegas dalang di balik layar aktivitas tambang timah ilegal ini. “Kalau ada yang jadi beking, kami minta dibongkar dan diproses sesuai hukum,” tukas nelayan tersebut.
Aspek Hukum dan Pelanggaran
Aktivitas pertambangan ilegal di Pantai Air Mengkelingan bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia. Antara lain:
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang menyebutkan bahwa setiap kegiatan pertambangan tanpa izin resmi (IUP) merupakan tindak pidana. Dalam Pasal 158, pelaku tambang ilegal dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur bahwa setiap kegiatan yang merusak lingkungan tanpa izin dapat dikenai pidana penjara 3 hingga 10 tahun serta denda Rp3 miliar hingga Rp10 miliar.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) jika terbukti ada unsur pemerasan atau pungutan liar (pungli) oleh oknum aparat, dapat dijerat Pasal 368 tentang pemerasan dan Pasal 423 tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat.
Sementara itu, hingga Rabu, 30 April 2025, aktivitas tambang timah di kawasan tersebut masih berlangsung. Belum ada tindakan tegas dari pihak Polres Belitung maupun Polda Kepulauan Bangka Belitung. Masyarakat pun mempertanyakan keseriusan penegakan hukum di wilayah tersebut.
Nelayan dan warga sekitar kini menaruh harapan besar kepada Bupati Belitung Jhoni Alamsyah untuk turun langsung ke lapangan, bukan sekadar menerima laporan di balik meja. Mereka berharap ada langkah konkret dari pemerintah dan aparat untuk menghentikan praktik tambang ilegal yang merusak sumber kehidupan masyarakat pesisir.
“Jangan biarkan pantai kami rusak lebih parah hanya karena segelintir orang mencari untung. Kami ingin laut tetap lestari untuk anak cucu kami,” pungkas seorang warga. (Kandar Belitung/KBO Babel)